Dilema M(P)engasuh Anak

Sebagai ibu yang bekerja eight to five, saya sudah lama mengalami kegalauan tentang pengasuh anak. Sementara di sisi lain, sebenarnya maunya saya, anak saya ya di asuh langsung oleh ibunya, dengan kata lain berarti saya fix berhenti bekerja. Tapi karena pertimbangan satu dan lain hal, sampai saat ini saya masih tetap menjadi ibu bekerja. Dulu sebelum punya anak, saya saklek pada prinsip, saya harus tetap bekerja, toh dulunya ibu saya pun bekerja dan bisa dibilang berhasil dalam mengasuh anak juga. Jadi kenapa ngga kan mengikuti jejak ibu saya. Dan kebetulan juga ibu mertua saya pun seorang ibu yang bekerja. Berkaca dari hal itulah prinsip “saya harus tetap bekerja” tercipta. Saya angkat topi kepada mereka. Saluut !!

Anyway, ternyata saat sekarang ini, saya mengalaminya sendiri. Sementara saya bekerja dan harus tetap mengurus keluarga, anak tetap menjadi prioritas utama. Sebelum ada anak, hal itu dirasa sangat mudah. Tapi saat anak saya lahir, muncullah kegalauan antara tetap bekerja atau memutuskan untuk fulltime “bekerja” di rumah.Sampai saat ini, saat saya bekerja, anak saya tetap di rumah bersama si mbak yang biasa momong dia sejak masa cuti melahirkan saya habis. Sebut saja dia Mbak Lik.  Si mbak Lik ini memang bukan orang lama di keluarga suami saya. Sudah hampir 5 tahunan. Berasal dari Surabaya, hijrah ke Papua sampai dia bertemu dengan bapak anaknya yang asli orang Maluku Utara. Jauh ya? Awal perkenalan dengan keluarga Pak Suami pun cukup unik. Jadi begini, adik ipar saya (adik dari suami), mengambil PTT kedokterannya di daerah Maluku Utara. Selama dia mengabdi di RS kecil disana, ada seorang mbak yang punya anak kecil berumur 2 tahunan, sering datang ke RS, bantu-bantu perawat disana bersih-bersih dan juga menyuci baju dokter dinas RS, termasuk adik ipar saya tadi. Mbak ini sering mengajak anaknya ikut bekerja ke RS dan adik ipar saya sangat tertarik sama anaknya. Setelah masa PTT habis, adik ipar saya minta ijn sama si mbak untuk mengajak anaknya ikut ke Jakarta. Berlibur sebentar ibaratnya karena adik dapat cuti untuk ke Jakarta dan melanjutkan pelayanannya disana sebagai dokter. Singkat cerita, anaknya ikut, tapi disini dia selalu nangis, mungkin karena jauh dengan ibunya, akhirnya diputuskanlah ibunya datang menyusul kesini. Sampai sekarang. Jadilah si mbak tadi ikut dengan keluarga kami. Orangnya cekatan dan terbiasa sangat terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Sampai akhirnya 3 tahun lalu, dia mengunjungi keluarganya di Surabaya dan disana dia dipaksa menikah dengan tetangganya, sampai dinyatakan hamil tapi dia memilih untuk meninggalkan keluarganya dan balik lagi ke Jakarta. Sekarang sudah 2 anaknya dan ikut dengan keluarga kecil kami. Mbak Lik tetap bantu-bantu sebatas cuci setrika dan beberes rumah kalau kami sedang di kantor. Selebihnya dia berjualan keliling sambil mengajak kedua anaknya tadi. Kami sendiri menganggap ke dua anak nya tadi sebagai anak angkat di keluarga. Kadang saya bilang, kakak pertama dan kakak keduanya anak saya. Si mbak Lik gak mau tinggal bersama dengan kami, walaupun di rumah ini masih ada 2 kamar kosong, dengan alasan anak-anaknya nakal. Yasudahlah, gapapa kalau itu pilihannya, sekarang dia tinggal di atas rumah kami, yang kebetulan ada 4 kamar yang sengaja di jadikan kamar kost, dan dia sama kedua anaknya menempati salah satu kamar tadi.

Balik lagi ke topik, singkat cerita anak saya lahir, ketika anaknya yang paling besar mau masuk SD kelas 1 dan anak keduanya tahun depan mau masuk PAUD. Mulailah hati ini gundah gulana gegap gempita *apa siihh*. Berkecamuk dalam hati : “ntar anak gw bagaimana?” Coba dibayangin, dia punya 2 anak yang masih kecil yang masih butuh kasih sayang ibunya, walaupun saat ini mereka tetap dapat itu dari ibunya. Anak yang besar sudah lumayan mengerti tapi yang kecil, ya mungkin karena dia belum mengerti ya, terkadang dia cemburu kalau ibunya menggendong anak saya. Dalam hal ini saya dapat memakluminya. Pernah diskusi dengan Pak Suami untuk mencari pengasuh yang benar-benar fokus menjaga anak selama saya bekerja. Apalagi sempat di awal Februari kemarin, anak nya yang besar dirawat di RS karena jatuh didorong teman sekolahnya di tangga sekolah. Alhasil, saya bergantian dengan adik saya mengambil cuti. Pak Suami gak ikutan cuti? Gak, karena saat itu dia harus tugas ke luar kota, huhuhu. Gak dititip dulu sementara ke orang tua? Gak juga, karena di rumah saya cuma ada Bapak saya, Ibu saya sudah 5 tahun yang lalu berpulang. Ya namanya bapak-bapak kan, sudah berumur juga, saya gak tega kalau mesti dititip ke Bapak saya. Kalau sama Mertua bagaimana? Gak bisa juga, karena kedua mertua saya masih aktif bekerja, ibu mertua saya masih aktif bekerja, sementara bapak mertua saya sehari-harinya pun rempong di gereja.

Dilema pun dimulai lagi. Tanya sana sini, siapa tau ada yang bisa bantu kasih kenalan yang bisa bantu menjaga anak. Ada teman kantor yang merekomendasikan 2 orang yang bisa bekerja menjaga bayi. Kenalan mbak ART di rumahnya. Tapi koq dilihat dari foto yang dikirim agak kurang meyakinkan ya. Satu orang yang berfoto sama anaknya yang masih kecil (kasian dong kalau anaknya harus ditinggal juga) sementara yang satu lagi bertampang judes, hihihihi. Tanya lagi ke teman saya yang lain, mereka menyarankan untuk mengambil pengasuh dari yayasan/penyalur saja. Sampai dikasih contact no. nya si penyalur loh. Tapi ya itu, suami gak mau lagi. Dia punya ketakutan yang besar soal pengasuh yang belum kita kenal, kalau bisa katanya kita jemput si calon pengasuh dari tempat tinggal nya langsung. Jadi kalau ada “apa-apa” kita bisa langsung ke rumahnya. Banyak kejadian yang mengerikan memang seputaran pengasuhan anak, yang kasus bullying lah, penculikan lah, macam-macam. Tanya ke OB di kantor kali aja ada tetangganya yang bisa momong anak, susah juga katanya. Memang susah sih. *mendadak kepala jadi pusing* Kalau yang pulang pergi gimana? Gapapa sih sebenarnya, tapi saya prefer yang bisa tinggal disini juga, karena kalau pulang pergi asumsi saya nanti dia gak fokus jaga anak saya. Ya jemurannya belum diangkat lah, ya siapin makan siang buat suaminya lah, apa lah apa lah. Nanti ujung-ujungnya ya anak saya ngikut ke rumahnya. Gapapa sih sebenarnya tapi saya mau anak saya tetap tinggal di rumahnya sendiri, bermain di rumahnya sendiri. Day Care? Belum kepikiran sama sekali untuk tititp ke Day Care, tapi rasanya saya kurang sreg. Itu aja alasannya. Tanya ke mbak Lik kali aja dia ada teman atau kenalan, katanya juga “ga ada, susah Lalita.” (hanya dia seorang di muka bumi ini yang manggil saya Lalita). Kapan-kapan saya cerita soal si Lalita ini ya, hihihi.

Maaakk, pusing pala barbie kalo begini ceritanya. Sampai saat ini pun anak saya masih di “pegang” sama mba Lik dan saya pun masih berusaha mencari kandidat yang cocok sama anak saya sambil berdoa juga tentunya, semoga Tuhan menunjukkan jalan yang tepat untuk kedepannya. Amin.

Huuuufftthhh ….. *buang nafas dulu*

Signature

 


6 comments

  1. Dilema tak berkesudahan. Aku sejak duo G sekolah setidaknya udah ga butuh yg jagain laginkrna duo G tak boyong ke sekolah sampe jam 3. Tapi capek luar biasa tapi gpp lah semua ada positif and negativenya.

    Btw, salut dengan kalian dan si ibu dari Maluku itu. Semoga cepat menemukan solusi ya

    Like

    • Aminnnn… Thx Jo buat doanya.

      Iya emng bener ini akan jadi dilema yg gak berkesudahan. Aku pun bgitu. Cerita sama teman kantor malah disaranin bawa aja anaknya ke kantor. Tp kan kasian masih tllu kecil..

      Like

  2. Saya ikutan bingung wa ha ha ha….. Memang nyari pengasuh anak harus sabar soalnya klo gak ati2 takut kejadian buruk terjadi. Jadi mending selektif ketat dalam mencari pengasuh

    Like


Leave a comment